BAHASA JURNALISTIK
|
Pelatihan Jurnalistik
Diselenggarakan oleh AKLaMASI
Tabloid Mahasiswa
Universitas Islam Riau Pekanbaru
Desember 2010
|
5 Desember 2010
|
BAHASA
JURNALISTIK
Supriyadi *
(Dosen FKIP UIR)
B
|
ahasa Jurnalistik merupakan gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam
menulis berita. Disebut juga bahasa komunikasi massa (Language of Mass
Communication atau , Newspaper Language), yakni bahasa yang digunakan dalam komunikasi
melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur) di media elektronik (radio
dan TV) maupun komunikasi tertulis (media cetak), dengan ciri khas singkat,
padat, dan mudah dipahami.
Bahasa
Jurnalistik memiliki dua ciri utama: komunikatif dan spesifik. Komunikatif
artinya langsung menjamah materi atau
langsung ke pokok persoalan
(straight to the point), bermakna tunggal, tidak konotatif, tidak berunga-bunga,
tidak bertele-tele, dan tanpa
basa-basi. Spesifik artinya mempunyai gaya penulisan tersendiri,
yakni kalimatnya pendek-pendek,
kata-katanya jelas, dan mudah dimengerti orang awam.
Rosihan
Anwar: Bahasa yang digunakan wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik memiliki
sifat-sifat khas yaitu: singkat,
padat, sederhana, lancar,
jelas, lugas, dan menarik. Bahasa jurnalistik didasarkan pada bahasa baku,
tidak menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa, memperhatikan ejaan yang
benar, dalam kosa
kata bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat.
S.
Wojowasito: Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam
harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa
tersebut haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka dengan ukuran
intelek yang minimal. Sehingga sebagian besar masyarakat yang melek huruf dapat
menikmati isinya. Walaupun demikian tuntutan bahwa bahasa jurnalistik
harus baik, tak boleh ditinggalkan. Dengan kata lain bahasa jurnalistik yang
baik haruslah sesuai dengan norma-norma tata bahasa yang antara lain terdiri
atas susunan kalimat yang benar, pilihan kata yang cocok.
JS
Badudu: bahasa surat kabar harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi
selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa surat kabar
mengingat bahasa surat kabar dibaca oleh lapisan-lapisan masyarakat yang tidak
sama tingkat pengetahuannya. Mengingat bahwa orang tidak
harus menghabiskan waktunya hanya dengan membaca surat kabar. Harus lugas,
tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa
yang dibacanya karena ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat
kabar.
Asep
Syamsul M. Romli: Bahasa Jurnalistik/ Language of mass communication. Bahasa
digunakan wartawan untuk menulis berita di media massa. Sifatnya
: (1) komunikatif, yakni langsung menjamah materi atau ke pokok
persoalan (straight to the point), tidak berbunga-bunga, dan tanpa
basa-basi. Serta (2) spesifik, yakni jelas atau mudah dipahami orang banyak,
hemat kata, menghindarkan penggunaan kata mubazir dan kata jenuh, menaati
kaidah-kaidah bahasa yang berlaku (Ejaan yang disempurnakan), dan kalimatnya
singkat-singkat.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2005):
Bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa Indonesia, selain tiga
lainnya — ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa
sastra.
A. Ciri Utama Bahasa Jurnalistik
Secara lebih seksama bahasa jurnalistik dapat dibedakan menurut bentuk
medianya, media cetak, bahasa jurnalistik radio, bahasa
jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik media online internet. Bahasa
jurnalistik media cetak, misalnya, kecuali harus mematuhi kaidah umum
bahasa jurnalistik, juga memiliki ciri-ciri yang sangat khusus yang membedakannya
dari bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik TV, dan bahasa jurnalistik
media online internet.
Terdapat 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua
bentuk media berkala tersebut. yakni (Sumadiria, 2005:53-61). Berikut perincian
penjelasannya.
1. Sederhana
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih
kata atau kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca
yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun
karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh
segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalistik.
2.
Singkat
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak
memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang
tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat
terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekuensinya apa pun
pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi,
dan karakteristik pers.
3. Padat
Menurut. Patmono SK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragrap yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalimat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kalimat yang padat, kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.
Menurut. Patmono SK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragrap yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalimat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kalimat yang padat, kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.
4. Lugas
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.
5. Jelas
Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya; tidak baur dan
kabur. Contoh, hitam adalah warna yang jelas. Putih adalah warna yang jelas.
Ketika kedua warna itu disandingkan, maka terdapat perbedaan yang tegas mana
disebut hitam, mana pula yang disebut putih. Pada. Kedua warna itu sama
sekali tidak ditemukan nuansa warna abu-abu. Perbedaan warna hitam dan putih
melahirkan kesan kontras. Jelas di sini mengandung tiga arti: jelas artinya,
jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah
subjek-predikat-objek-keterangan (SPOK), jelas sasaran atau maksudnya.
6. Jernih
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak
menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau
fitnah. Sebagai ilustrasi, kita hanya
dapat menikmati keindahan ikan hias arwana hanya pada akuarium dengan air yang
jernih bening. Arwana tidak akan melahirkan pesona yang luar biasa apabila
dimasukkan ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh.
Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan publik. Dalam bahasa kias, jernih berarti bersikap berprasangka baik (husnudzon) dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk (suudzon). Menurut orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola pikir positif (positive thinking) dan menolak pola pikir negative (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih dan dada lapang.
Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, kepentingan rakyat. Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan pimpinan partai politik.
7. Menarik
Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan
minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang
yang sedang tertidur, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada
prinsip: menarik, benar dan baku.
Bahasa ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan baku saja. Inilah yang menyebabkan karya-karya ilmiah lebih cepat melahirkan rasa kantuk ketika dibaca daripada memunculkan semangat dan rasa penasaran untuk disimak lebih lama. Bahasa jurnalistik hasil karya wartawan, sementara karya ilmiah hasil karya ilmuwan. Wartawan sering juga disebut seniman.
Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta permusuhan dari pembaca dan pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.
8. Demokratis
Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah
demokratis. Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan,
pangkat, kasta atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana
di jumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik
menekankan aspek fungsional dan komunal, sehingga sama sekali tidak
dikenal pendekatan feudal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam
lingkungan priyayi dan kraton.
Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang
becak, bahkan pengemis dan pemulung secara sama.Kalau dalam berita disebutkan
presiden mengatakan, maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan
kata bersabda. Presiden dan pengemis keduanya tetap harus ditulis
mengatakan. Bahasa jurnalistik menolak pendekatan diskriminatif dalam penulisan
berita, laporan, gambar, karikatur, atau teks foto.
Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama di depan hukum sehingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda. Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang membedakan di antara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat persatuan dan kesatuan bangsa, karena. bahasa Melayu sebagai cikal-bakal bahasa Indonesia memang sangat demokratis. Sebagai contoh, prisiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.
9. Populis
Populis berarti setiap kata, istilah atau kalimat apa pun yang terdapat
dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di mata dan di benak
pikiran khalayak pembaca, pendengar atau pemirsa. Bahasa jurnalistik harus
merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Mulai
dari pengamen sampai seorang presiden, para pembantu rumah tangga sampai
ibu-ibu pejabat dharma wanita. Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa
yang elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil
orang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan
tinggi.
10. Logis
Logis berarti apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat,
atau paragraph jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan
akal sehat (common sense). Bahasa jurnalistik harus dapat diterima dan
sekaligus mencerminkan nalar. Di sini berlaku hukum logis. Sebagai contoh,
apakah logis kalau dalam berita dikatakan: jumlah korban tewas dalam musibah
longsor dan banjir bandang itu 225 orang namun sampai berita ini diturunkan
belum juga melapor. Jawabannya tentu saja sangat tidak logis, karena mana
mungkin korban yang sudah tewas, bisa melapor?
Menurut salah seorang wartawan senior Kompas dalam bukunya yang
mengupas masalah kalimat jumalistik, dengan berbekal kemampuan menggunakan
logika (silogisme), seorang wartawan akan lebih jeli menangkap suatu keadaan,
fakta, persoalan, ataupun pernyataan seorang sumber berita. Ia akan lebih
kritis, tidak mudah terkecoh oleh sumber berita yang mengemukakan peryataan atau
keterangan dengan motif-motif tertentu (Dewabrata, 2004:76).
11. Gramatikal
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan. Contoh bahasa jurnalistik baku atau gramatikal: Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan. Contoh bahasa jurnalistik baku atau gramatikal: Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.
12. Menghindari kata
tutur
Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari
secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di
warung kopi, terminal, bus kota atau di pasar. Setiap orang bebas untuk
menggunakan kata atau istilah apa saja sejauh pihak yang diajak bicara
memahami maksud dan maknanya. Kata tutur ialah kata yang hanya menekankan pada
pengertian, sama sekali tidak memperhatikan masalah struktur dan tata bahasa.
Contoh kata-kata tutur: bilang, bilangin,
bikin, dikasih tahu, mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin.
13. Menghindari
kata dan istilah asing
Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus
tahu arti dan makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau
laporan yang banyak diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan
komunikatif juga membingungkan.
Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonym dan heterogen. tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.
14. Pilihan kata
(diksi) yang tepat
Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang
disusun tidak hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas
efektifitas. Artinya setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai
dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada khlayak. Pilihan kata
atau diksi, dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar hadir sebagai varian dalam
gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan
matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak.
Pilihan kata atau diksi yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa menimbulkan akibat fatal. Seperti ditegaskan seorang pakar bahasa terkemuka, pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata itu. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai arstistik yang tinggi (Keraf, 2004:22-23).
15. Mengutamakan
kalimat aktif
Kalimat aktif lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak
pembaca daripada kalimat pasif. Sebagai contoh presiden mengatakan, bukan
dikatakan oleh presided. Contoh lain, pencuri mengambil perhiasan dari
dalam almari pakaian, dan bukan diambilnya perhiasan
itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri. Bahasa jurnalistik harus.jelas
susunan katanya, dan kuat maknanya (clear and strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman. Kalimat pasif sering
menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.
16. Menghindari kata
atau istilah teknis
Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana,
mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai
membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari
penggunaan kata atau istilah-istilah teknis. Bagaimanapun kata atau istilah
teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komunitas tertentu yang relatif
homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa tidak boleh
dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efektif, juga mengandung
unsur pemerkosaan.
Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan media itu: (1) kurang melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas, (2) tidak memiliki editor bahasa, (3) tidak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan, atau (4) tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola penerbitan pers yang berkualitas.
17. Tunduk kepada
kaidah etika
Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik (to educated), Fungsi ini bukan saja
harus, tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan
artikel-aritikelnya, melainkan juga harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa
tersimpul etika. Bahasa tidak saja mencerminkan pikiran tapi sekaligus juga
menunjukkan etika orang itu.
Dalam menjalankan fungsinya mendidik khalayak, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku. Bahasa pers harus baku, benar dan baik. Dalam etika berbahasa, pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, vulgar, sumpah serapah, hujatan dan makian yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama. Pers juga tidak boleh menggunakan kata-kata porno dan berselera rendah lainnya dengan maksud untuk membangkitkan asosiasi serta fantasi seksual khalayak pembaca.
Sumber Utama
http: //kangarul.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar