Senin, 18 Maret 2013

Karya Dosen saya. Supriyadi.,M.Pd



BAHASA JURNALISTIK
Pelatihan Jurnalistik
Diselenggarakan oleh AKLaMASI
Tabloid Mahasiswa
Universitas Islam Riau Pekanbaru
Desember  2010

5 Desember    2010
 


Text Box:  
*Supriyadi
Menjadi Dosen Tetap FKIP Universitas Islam Riau, khususnya  pada  Program Studi Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia sejak 18  tahun yang lalu.
SD, SMP di Tanjungbalai Karimun, SPG Tanjungpinang program Matematika IPA, S1, Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP UIR,   S2 IKIP Padang 2 bidang: (1) Mayor: Manajemen Pendidikan, (2) S2: Minor Pendidikan Bahasa
Pernah menjadi guru SD, SMP, SMA, SMK . MA dan Bimbingan Belajar. Kepala Sekolah, Wakil kepala Sekolah, Direktur Pusat Studi, sekkretaris lembaga pengabdian,  Pembantu Dekan
Ikut membidani lahirnya Koran Kampus Aklamasi dan menjadi Staf Ahli sampai saat sekarang.
Permah menjadi konsultans untuk Bank Dunia dalam pekerjaan Basic  Education Project, Konsultan Asia Development Bank  untuk Sekolah  Bertaraf Internasional, dan Konsultans Dana Dekonsentrasi Diknas Provinsi Riau. 
 Pernah menjadi wartawan Riau Pos, Redaktur Majalah MADANI dan PRESTASI, Menjadi Pimpinan  Redaksi Koran Mahasiswa FKIP UIR Tahun 1986 “PANCUNG” dan aktif menulis di media massa serta menulis buku khususnya manajemen pendidikan dan bahasa.
Alamat: Kompleks Dokagu UIR Blok C. 41 Perhentian Marpoyan HP 081371516858 Email Supriyadi.news@yahoo.co.id 
Facebook   adi_supriyadi42@yahoo.co.id
BAHASA JURNALISTIK

Supriyadi *
(Dosen FKIP UIR)


B

ahasa Jurnalistik merupakan gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam menulis berita. Disebut juga bahasa komunikasi massa (Language of Mass Communication atau , Newspaper Language), yakni bahasa yang digunakan dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur) di media elektronik (radio dan TV) maupun komunikasi tertulis (media cetak), dengan ciri khas singkat, pa­dat, dan mudah dipahami.

Bahasa Jurnalistik memiliki dua ciri utama: komu­nikatif dan spesifik. Ko­munikatif artinya lang­sung menjamah materi atau langsung ke pokok per­soalan (straight to the point), ber­makna tung­gal, tidak konotatif, tidak ber­unga-bunga, tidak ber­tele-tele, dan tanpa basa-basi. Spesifik artinya mem­­­punyai gaya penulisan tersendiri, yakni kalimat­nya pendek-pendek, kata-katanya jelas, dan mudah di­mengerti orang awam.

Rosihan Anwar: Bahasa yang digunakan war­tawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jur­nalistik. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu: sing­kat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik. Bahasa jur­nalistik didasarkan pada bahasa baku, tidak mengang­gap sepi kaidah-kaidah tata ba­hasa, memper­hatikan ejaan yang benar, dalam ko­sa kata bahasa jurnalistik mengikuti perkem­bang­an dalam masyarakat.

S. Wojowasito: Bahasa jurnalistik adalah bahasa ko­munikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa tersebut haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka dengan ukuran intelek yang minimal. Sehingga sebagian besar masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isinya. Walaupun demikian tuntutan bahwa bahasa jurnalistik harus baik, tak boleh diting­galkan. Dengan kata lain bahasa jurnalistik yang baik haruslah sesuai dengan norma-norma tata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan kalimat yang benar, pilihan kata yang cocok.

JS Badudu: bahasa surat kabar harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa surat kabar mengingat bahasa surat kabar dibaca oleh lapisan-lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Mengingat bahwa orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya dengan membaca surat kabar. Ha­rus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang di­baca­nya karena ketidakjelasan bahasa yang di­gunakan dalam surat kabar.

Text Box: Bahasa adalah: 
Sistem lambang bunyi yang arbitrer, alat komunikasi, simbol bunyi yang memiliki makna dan digunakan masyarakat untuk berinteraksi

Fungsi Bahasa adalah alat:
(1) ekspresi diri, (2) komu¬nikasi, (3) integrasi dan adaptasi sosial, (4) kontrol sosial
Asep Syamsul M. Romli: Bahasa Jurnalistik/ Langua­ge of mass communication. Bahasa diguna­kan wartawan untuk menulis berita di media massa. Sifat­nya : (1) komunikatif, yakni langsung menja­mah materi atau ke pokok persoalan (straight to the point), tidak ber­bunga-bunga, dan tanpa basa-basi. Serta (2) spesifik, yakni jelas atau mudah dipahami orang banyak, hemat kata, meng­hin­darkan peng­gunaan kata mubazir dan kata jenuh, menaati kaidah-kaidah bahasa yang berlaku (Ejaan yang disempur­nakan), dan kalimatnya singkat-singkat.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005): Bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa Indonesia, selain tiga lainnya — ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa sastra.

A.        Ciri Utama Bahasa Jurnalistik

Secara lebih seksama bahasa jurnalistik dapat dibe­dakan menurut bentuk medianya,   media cetak, bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik media online internet.  Bahasa jurnalistik me­dia cetak, misalnya, ke­cuali harus me­­matuhi kaidah umum bahasa jur­nalistik, juga memiliki ciri-ciri yang sangat khusus yang mem­bedakan­nya dari bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik TV, dan bahasa jurnalistik media online internet.

Terdapat 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media berkala tersebut. yakni (Sumadiria, 2005:53-61). Berikut perincian penjelasan­nya.

1.     Sederhana
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu di­gunakan dalam bahasa jurnalistik.
2.     Singkat
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas, se­mentara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekuensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.

3. Padat
Menurut. Patmono SK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat infor­masi. Setiap  kalimat dan paragrap yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti ter­dapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalimat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kalimat yang padat, kecuali singkat juga mengan­dung lebih banyak informasi.

4. Lugas
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pem­baca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemung­kinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.

5.  Jelas
Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya; tidak baur dan kabur. Contoh, hitam adalah warna yang jelas. Putih adalah warna yang jelas. Ketika kedua warna itu disandingkan, maka terdapat perbedaan yang tegas mana disebut hitam, mana pula yang disebut putih. Pada. Kedua warna itu  sama sekali tidak ditemukan nuansa warna abu-abu. Perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas di sini mengan­dung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau ka­limatnya sesuai dengan  kaidah subjek-predikat-objek-keterangan (SPOK), jelas sasaran atau maksudnya.

6. Jernih
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah.  Sebagai ilustrasi, kita hanya dapat menik­mati keindahan ikan hias arwana hanya pada akuarium dengan air yang jernih bening. Arwana tidak akan melahirkan pesona yang luar biasa apabila dimasukkan  ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh.

Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan  kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pe­muatan suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan publi
k. Dalam bahasa kias, jernih berarti bersikap berprasangka baik (husnudzon) dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk (suudzon). Menurut orang ko­munikasi, jernih berarti senantiasa mengem­bangkan pola pikir positif (positive thinking) dan menolak pola pikir negative (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih dan dada lapang.

Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus meng­ingatkan tentang ke
­jujuran, keadilan, ke­benaran, kepentingan rakyat.  Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan pimpinan partai politik.




7. Menarik
Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta mem­buat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar dan baku.

Bahasa ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan baku saja. Inilah yang menyebabkan karya-karya ilmiah lebih cepat melahirkan rasa kantuk ketika dibaca daripada me
­muncul­kan semangat dan rasa penasaran untuk disimak lebih lama. Bahasa jurnalistik hasil karya wartawan, sementara karya ilmiah hasil karya ilmuwan. Wartawan sering juga disebut seniman.

Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta per­musuhan dari pembaca dan pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan  kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu ditegas­kan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.

8. Demokratis
Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis. Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal ting­katan, pangkat, kasta atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan ba­hasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan  aspek fungsional dan komunal, sehingga sama sekali tidak dikenal pendekatan feudal sebagai­mana  dijumpai pada masyarakat dalam ling­kung­an priyayi dan kraton.

Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan pengemis dan pemulung secara sama.Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan, maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata ber­sabda. Presiden dan pengemis  kedua­nya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa jurnalistik menolak pendekatan diskriminatif dalam penulisan berita, laporan, gambar,  karikatur, atau teks foto.

Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki ke­dudukan yang sama  di depan hukum sehingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda. Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang mem­bedakan di antara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat  persatuan dan kesatuan bangsa, karena. bahasa Melayu sebagai cikal-bakal bahasa Indonesia memang sangat demokratis. Sebagai con­toh, prisiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.

9.  Populis
Populis berarti setiap kata, istilah atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jur­nalistik harus akrab di telinga, di mata dan di benak pikiran  khalayak pembaca, pendengar atau pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapis­an masyarakat. Mulai dari pengamen sampai seorang presiden, para pembantu rumah tang­ga sampai ibu-ibu pejabat dharma wanita. Ke­balikan dari populis adalah elitis. Bahasa yang elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan ber­kedudukan tinggi.



10.  Logis
Logis berarti apa  pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraph jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahasa jurnalistik harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Di sini berlaku hukum logis. Sebagai contoh, apakah logis kalau dalam berita dikatakan: jumlah korban tewas dalam musibah longsor dan banjir bandang itu 225 orang namun sampai berita ini diturunkan belum juga melapor. Jawabannya tentu saja sangat ti­dak logis, karena mana mungkin korban yang sudah tewas, bisa melapor?

Menurut salah seorang wartawan senior Kompas dalam bukunya yang mengupas masalah ka­limat jumalistik, dengan berbekal kemampuan meng­gunakan logika (silogisme), seorang war­tawan akan lebih jeli menang­kap suatu keadaan, fakta, per­soalan, ataupun pernyataan seorang sum­­ber berita. Ia akan lebih kritis, tidak mudah terkecoh oleh sumber berita yang mengemuka­kan peryataan atau keterangan dengan motif-motif tertentu (Dewabrata, 2004:76).

11. Gramatikal
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan. Contoh bahasa jurnalistik baku atau gramatikal:
 Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan men­jadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.

12. Menghindari kata tutur
Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal, bus kota atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa saja sejauh pihak yang diajak bi­cara memahami maksud dan maknanya. Kata tutur ialah kata yang hanya menekankan pada pengertian, sama sekali tidak mem­perhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang, bilangin, bikin, dikasih tahu,  mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin.

13.   Menghindari kata dan istilah asing
Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti dan makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak  diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif juga membingungkan.

Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonym dan heterogen. tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, pro­fesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.

14.  Pilihan kata (diksi) yang tepat
Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektifitas. Artinya setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada khlayak. Pilihan kata atau diksi, dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar ha­dir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap kha­layak.

Pilihan kata atau diksi yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa menimbulkan akibat fatal. Seperti ditegaskan seorang pakar bahasa terkemuka, pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata itu. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk meng
­ungkapkan suatu ide atau gagasan,  tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pen­gelom­pokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ung­kapan-ungkapan yang individual atau karak­teristik, atau yang memiliki nilai arstistik yang tinggi (Keraf, 2004:22-23).

15.  Mengutamakan kalimat aktif
Kalimat aktif lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif. Sebagai contoh presiden mengatakan, bukan dikatakan oleh presided. Contoh lain, pencuri mengambil  perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan diambil­nya perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri. Bahasa jurnalistik harus.jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear and strong). Kalimat aktif lebih me­mu­dahkan pengertian dan memperjelas pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.

16.  Menghindari kata atau istilah teknis
Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis. Bagai­mana­­pun kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau ko­munitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efektif, juga mengandung unsur pemerkosaan.

Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan media itu: (1) kurang melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap wartawan­nya yang malas, (2) tidak memiliki editor bahasa, (3) tidak memiliki buku panduan pe­liput­an dan penulis­an berita serta laporan, atau (4) tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola pe­nerbitan pers yang berkualitas.

17.  Tunduk kepada kaidah etika
Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik (to educated), Fungsi ini bukan saja harus, tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan artikel-aritikelnya, melainkan juga harus tampak pada ba­hasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja mencerminkan pikiran tapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu.

Dalam menjalankan fungsinya mendidik khalayak, pers wajib meng­gunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku. Bahasa pers harus baku, benar dan baik. Dalam etika berbahasa, pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, vulgar, sumpah serapah, hujatan dan makian yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama. Pers juga tidak boleh menggunakan kata-kata porno dan berselera rendah lainnya dengan maksud untuk membangkitkan asosiasi serta fantasi seksual khalayak pembaca.

Sumber Utama
http: //kangarul.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar