Selasa, 26 Februari 2013

EVALUASI TES DAN EVALUASI HASIL TES


A.    Evaluasi Tes
Evaluasi hasil tes bertujuan mengetahui kualitas butir tes/butir soal sebelum digunakan. Cara menalaah butir-butir tes adalah :
1.      telaah secara kualitatif, yakni oleh teman sejawat dalam rumpun keahlian yang sama,
2.      telaah secara kuantitatif, yakni analisis berdasarkan hasil uji coba atau hasil penggunaan tes setelah diuji cobakan,
selanjutnya hasil tes dianalisis untuk mengetahui tujuan pembelajarnan yang telah dicapai, yaitu yang dinyatakan dengan penguasaan kemampuan dasar.
Persyaratan untuk menyiapkan butir-butir tes dengan baik adalah :
1.      menguasai materi yang diujikan,
2.      menguasai penulisan soal, dan
3.      menguasai penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Telaah butir tes dilakukan terhadap beberapa asek, yaitu :
1.      Aspek materi berkaitan dengan subtansi keilmuan yang ditanyakan serta tingkat berikir yang terlibat.
2.      Aspek konstruksi berkaitan dengan teknik penulisan soal yang baik, yaitu bentuk objektif dan non-objektif.
3.      Aspek bahas berkaitan dengan kekomunikatifan/kejelasan hal yang ditanyakan.
Kualitas butir soal juga dilihat dari tingkat berfikir yang diperlukan dalam mengerjakan soal. Apabila digunakan taksonmi ranah kognitif menurut Bloom, sebaiknya soal lebih banyak pada aspek pemahaman, aplikasi, dan analisi.  Aplikasi yang dimaksud adalah yang belum diajarkan, namun konsepnya sudah diajarkan. Untuk menyiapkan soal harus dilakukan secara bertahap, misal setiap selesai mengajar disiapkan suatu soal untuk suatu konsep tertentu. Kelemahan konsep ini adalah lebih banyak soal yang menanyakan tentang hafalan saja, sering waktu yang disediakan untuk mengerjakan soal ujian tidak cukup. Untuk pengecoh dalam bentuk soal pilihan ganda lebih sebaiknya jawaban salah siswa ketika mengerjakan soal uraian. Contoh format telaah butir soal ditinjau dari aspek materi, konstruksi, dan bahasa dapat dilihat pada Lampiran 3
Ketidaktercapaian suatu konsep atau tema dalam kemampuan dasar bisa di sebabkan beberapa hal, antara lain :
1.      Kemampuan siswa yang rendah,
2.      Kemampuan guru dalam media termasuk metoder ajar dan pembelajaran, dan
3.      Bahan ajar yang tergolong sulit, dan tidak ada atau kurangnya peran mata pelajaran pendukung.
Setelah ujian, semua guru harus memiliki informasi tentang kemampuan dasar yang sulit dipahami siswa untuk dibicarakan di tingkat sekolah terutama dengan sesama pengajar mata pelajaran yang sama.
Beberapa sumber kesalahan pengukuran antara lain :
1.      Pada penentuan materi ujian.
2.      Pihak yang diukur, untuk mengatasinya harus dilakukan banyak pengukuran.
3.      Pihak yang mengukur, pihak pengukur harus dilatih agar menyusun alat ukur dengan baik dan mampu menyelenggarakan pengukuran dengan kondisi standar.
4.      Lingkungan
 Kesalahan pada subyek yang diukur sering disebabkan bias atau subyektifitas dalam melakukan pengukuran dan penilaian. Bias berarti mereka yang memilik kemampuan yang sama tetapi hasil tes tidak sama. Untuk mengatasinya, soal tes harus benar-benar ditelaah dan dianalisis serta disediakan pedoman penyekoran dan penilaian agar lebih obyektif.
Pada dasarnya, pengukuran dilakukan terhada satu dimensi yaitu ada dimensi kognitif, dimensi psikomotor, dimensi afektif. Apabila ingin mengukur kemampuan siswa dalam beberapa dimensi seperti dimensi kemampuan berfikir, keterampilan mengerjakan tugas, dan dimensi keuletan, maka ketiga dimensi itu harus diukur sendiri-sendiri dan hasilnya dinyatakan dalam bentuk profil siswa dalam tiga dimensi tersebut.
Setelah butir-butir tes/butir-butir soal ditelaah, selanjutnya dalam pengembangan tes adalah pengumpulan data empiris melalui pengujian. Untuk uji coba skala besar seperti ujian tingkat regional atau nasional, hasilnya dimasukkan ke dalam bank soal. Untuk soal buatan guru yang digunakan di kelas, uji coba tes tidak perlu dilakukan. Apabila hal ini sering dilakukan dengan memperhatikan atau dilakukan dalam evaluasi tes yaitu analisis butir tes/soal dan perakitan tes, maka kemampuan guru membuat tes yang baik akan tercapai.
1.      Analisis butir tes/soal
Ada dua cara untuk menganilis soal, yaitu :
a.       Analisis soal secara teoritik atau kualitatif
Analisis ini dilakukan sebelum dilakukan uji coba yakni dengan dengan cara mencermati butir-butir soal yang telah disusun, dilihat dari kesesuain dengan kemampuan dasar dan indikator yang diukur, serta pemenuhan persyaratan bai aspek materi, konstruks, dan bahasa.
b.      Analisis  soal secar empiris atau kuantitatif
Ada dua cara melakukan analisis kuanitatif yaitu :
i.                    Analisis cara klasik
Analisis butir soal secara klasik dibedakan menjadi dua macam berdasarkan tujuan penilaian. Jika menggunakan pendekatan penilaian acuan kriteria , maka kriteria butir soal yang digunakan harus emenuhi standar butir soal acuan kriteria (criterion referenced test). Demikian pula jika menggunakan pendekatan penilaian acuan norma, maka butir soal harus memenuhi standar sebagai buir soal acuan orma (orm referenced test).
2.      Analisis butir soal acuan kriteria
Tujuan penilaian acuan kriteria adalah mengetahui kemampuan seseorang menurut kriteria tertentu. Jika menggunakan penilaian formatif, maka penilaian acuan kriteria diterapkan untuk mengetahui sejauhmana keampuan yang ditargetkan dapat dikuasai oleh siswa. Dengan demikian, syarat utama yang harus dipenuhi adalah butir-butir soal yang digunakan harus mencerminkan indikator kemampuan yang ditargetkan agar pembelajaran yang diselenggarakan berubah ke arah yang lebih baik, baik dlam kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Tingkat pencapaian suatu kemampuan dasar adalah proposi jumlah peserta tes yang menjawab benar terhadap indikator kemampuan dasar yang bersangkutan, dilambangkan dengan rumus :
                                  P   = tingkat pencapain (proportion correc)
                                              B  = jumlah peserta tes yang menjawab benar
                                              T   = jumlah seluruh peserta tes
Jikasemua siswa berhasil menguasai suatu indikator kemampuan dasar, maka P = 1 dan butir soal tersebut dinyatakan mudah oleh siswa. Jika didapat P= 0, berarti semua siswa gagal mengusainya. Bila hasil empiris p = 0 dan hasi kualitatif P = 1, maka dapat ditafsirkan siswa belum menguasai kemampuan dasar atau proses pembelajaran yang telah dilaksanakan belum berhasil mencapai tujuan.
Kriteria utama butir soal acuan kriteria tercermin dari besarnya  harga indeks sensitivitas yang menunjukkan efektifitas proses pembelajaran. Hal ini dapat diketahui bila dilakukan prostest dan posttest
(Gronlund dan Linn, 1990)
Indeks sensisifitas butir soal memiliki interval -1 sampai dengan 1. Indeks sensitivitas suatu butir soal (Is) ujian formatif:
= Banyak siswa yang berhasil mengerjakan suatu butir soal sesudah proses pembelajaran.
= Banyak siswa yang berhasil mengerjakan suatu butir soal sebelum proses pembelajaran.
T = Banyak siswa yang mengikuti ujian
Jika tidak ada pree test maka nilai dilihat dari postes. Jika tingkat pencapaian suatu butir kecil maka proses pembelajaran tidak efektif. Jika hasil analisis secara kualitatif menunjukkan bahwa baik dari aspek materi konstruksi maupun bahasa tes memenuhi sayarat.
            Pemakaian indeks daya pembeda butir untuk butir soal acuan kriteria pada dasarnya adalah perbandingan antara banyaknya anggota kelompok yang berhasil (kelompok atas) dan banyaknya kelompok yang gagal (kelompok bawah).
            Daya beda dinyatakan baik jika minimum besarnya 0,3. Jika seluruh siswa berhasil menguasai indikator suatu kemampuan dasar maka indeks daya beda sebesar 0. Namun butir ini tetap dinyatakan baik dan dapat digunakan dalam proses pembelajaran manakala seluruh siswa mengalami proses tidakdapat mengerjakan suatu butir soal yang bersangkutan.
Seluruh siswa sebelum mengalami prosespembelajrana tidak dapat mengerjakan butir soal yang bersangkutan. Dengan kata lain, jika sebelum pembelajaran siswa belum mdenguasai indikator kemampuan dasar yang dimaksud, dan setelah pembelajaran seluruh siswa berhasil mengerjakan butir soAl yang dijadikan indikator kemampuan dasar tersebut, maka butir soalnya tetap dinyatakan baik atau tetap dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan belajar
            Berdasar uraian diatas dalam ubtuk mengukur pencapaian kemampuan dasar yang telah berhasil  dikuasai.
b. analisis butir soal acuaan norma
tujuan penilaian acuan norma adalah unuk mengetahui kedudukan siswa dalam kelompoknya(dalam kelas). Oleh karena itu butir-butir soal yang dipakai dalam ujian tidak boleh terlalu sukar/ terlalu mudah. Sehingga indeks kesukarannya 0,3-0,7 dan harus dapat membedakan mahasiswa yang pandai dan yang tidak pandai dalam suatu kelas yang tercermin dari besarnya harga indeks daya beda 0,3.
c. analisis menurut teori respon butiri
Apa yang diuraikan diatas adalah model analisis butir yang klasik dengan asumsi bahwa:
1.      Tidak ada korelasi antara skor yang sebenarnya dan skor kesalahan
2.      Sepanjang tidak terjadi kesalahan sistematik tidak ada korelasi.
3.      Besarnya merata keslahan acak = 0.
Penggunaan teori klsik dalam menganilis butir memilki beberapa kelemahan sebagai berikut:
1.      Stasistik butir tes berupa tingkat kesukaran dan daya beda butir soal.
2.      Estimasi kemampuan peserta tergantug pada butir soal yang di ujikan.
3.      Estimasi skor kesalahan berlaku untuk semua peserta tes.
4.      Di dalam tidak informasi tenetang respon peserta ujian terhadap setiap butir soal.
5.      Estimasi keterandalan alat tes dengan tehnik belah dua, belah tiga, kron, beach alpha dan sebagainya menggunakan asumsi paralel yang sudaa dipenuhi.
Kareana ada kelemahan-kelemahan tersebut muncullah teori respon butir yang berusaha mengatasi kelemahan tersebut.
            Untuk kerja seseorang terhadap suatu butir soal tidak mempengaruhi butir soal yang lain. Dengan demikian respons seseorang terhadap masing-masing butir soal bersifat independent atau tepatnya local-independent. Berdasarkan teori respon butir soal hubungan setiap butir soal mempunyai kurva karakteristik butir yang merupakan kurva regresi non linier skor butir terhadap kemampuan. Fungsi tersebut menggambarkan hubungan peluang sukses menjawab suatu butir soal dengan kemampuan yang diukur oleh butir soal.
            Kurva karakteristik butir dinyatakan dengan 3 fungsi matematika yang menghasilkan model logistik 1 parameter, 2 parameter, dan 3 parameter. Model logistik 1 parameter dikembangkan oleh Rasch tahun 1966 dan dilanjutkan oleh Wright(Hambleton dan Swaminathan,1985). Parameter suatu butir merupakan tingkat kesukaran butir dengan daya pembeda dianggap sama dan coba dianggap sama dengan 0.
Model logistik dengan tiga parameter menyatakan bahwa kemampuan seseorang tercermin dari tingkat kesukaran butir, daya pembeda, dan pseudoguessing. Dengan tiga model tesebut kemudian dikembangkan perhitungan dengan berbantuan komputer bagaimana cara menentukan kualitas suatu butir soal baik dengan model logistik dengan satu parameter, dua parameter, maupun tiga parameter.
            Kelebihan dari analisis butir soal yang mendasarkan diri pada teori respon butir yaitu mampu memberikan perhitungan yang akurat terhadap skor akhir yang diperoleh dua orang testi berbeda sebarannya meskipun banyaknya skor yang benar di antara mereka adalah sama.
            Meskipun pendekatan secara klasik memiliki kelemahan dibandingkan dengan pendekatan dengan pendekatan berdasar teori  respon butir, namun pendekatan dengan teori respon butir memerlukan jumlah testi yang besar (minimum 500 orang) untuk uji cobanya.

Mas, tambahi seng hal 59 yo, kurang seng nmer 2
B. Analisis Hasil Tes dan Tindak Lanjutnya
            Bagi siswa, hasil tes yang diselenggarakan oleh guru mempunyai kegunaan yaitu:
1.      Dapat mengetahui apakah ia sudah memahami bahan yang disajikan guru.
2.      Dapat mengetahui bagian mana yang belum dikuasainya sehingga ia berusaha mempelajarinya sebagai upaya perbaikan.
3.      Dapat menjadi penguatan bagi siswa yang sudah memperoleh skor tinggi dan menjadi dorongan untuk belajar lagi.
4.      Dapat menjadi diagnosis siswa.
Agar dapat memanfaatkan hasil ujian secara efektif, perlu dilakukan analisis terhadap hasil ujian yang telah dicapai siswa. Caranya dengan membuat tabel spesifikasi yang menunjukkan konsep/subkonsep atau tema/subtema kemampuan dasar mana yang belum dikuasai siswa.
Contoh: tabel spesifikasi hasil tes analisis hasil tes mata pelajaran Biologi
Nama: Fredi                                                           Kelas: IA
Kemampuan Dasar
Jumlah butir
Jumlah yang betul
Persen pencapaian
Penguasaan
Keterangan
1.     Mendeskripsi keterampilan dasar dan keterampilan proses sains.
20
15
75
V
Menguasai seluruh keterampilan proses IPA berupa metabulasi data, membuat grafik, dan memaknakan tabel/grafik, tetapi belum menguasai proses IPA dalam hal melakukan inferensi, prediksi, dan menentukan variabel bebas dan variabel terikat.
2.     Mengenal langkah-langkah pemecahan masalah melalui metode eksperimen (percobaan).
30
15
50

Hanya menguasai kemampuan merumuskan tujuan dan manfaat percobaan, menentukan treatment dan menentukan kelompok kontrol. Belum menguasai kemampuan merumuskan persoalan, memilih hal-hal yang harus dimuat dalam tinjau pustaka, merumuskan hipotesis, dan menyiapkan tabel hasil percobaan.
Standar Keberhasilan: batas penguasaan 75%

FUNGSI BAHASA



1. Pengertian Bahasa
Menurut Gorys Keraf (1997 : 1), Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama.  Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya. Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah.
 Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan simbol atau perlambang.

2. Aspek Bahasa
Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu pula. Simbol adalah tanda yang diberikan makna tertentu, yaitu  mengacu kepada sesuatu yang dapat diserap oleh panca indra.
Berarti bahasa mencakup dua bidang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, dan arti atau makna yaitu hubungan antara rangkaian bunyi vokal dengan barang atau hal yang diwakilinya,itu. Bunyi itu juga merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita (=yang diserap oleh panca indra kita, sedangkan arti adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan dari orang lain).
Arti yang terkandung dalam suatu rangkaian bunyi bersifat arbitrer atau manasuka. Arbitrer atau manasuka berarti tidak terdapat suatu keharusan bahwa suatu rangkaian bunyi tertentu harus mengandung arti yang tertentu pula. Apakah seekor hewan dengan ciri-ciri tertentu dinamakan anjing, dog, hund, chien atau canis itu tergantung dari kesepakatan anggota masyarakat bahasa itu masing-masing.

3. Benarkah Bahasa Mempengaruhi Perilaku Manusia?
Menurut Sabriani (1963), mempertanyakan bahwa apakah bahasa mempengaruhi perilaku manusia atau tidak? Sebenarnya ada variabel lain yang berada diantara variabel bahasa dan perilaku. Variabel tersebut adalah variabel realita. Jika hal ini benar, maka terbukalah peluang bahwa belum tentu bahasa yang mempengaruhi perilaku manusia, bisa jadi realita atau keduanya.
Kehadiran realita dan hubungannya dengan variabel lain, yakni bahasa dan perilaku, perlu dibuktikan kebenarannya. Selain itu, perlu juga dicermati bahwa istilah perilaku menyiratkan penutur. Istilah perilaku merujuk ke perilaku penutur bahasa, yang dalam artian komunikasi mencakup pendengar, pembaca, pembicara, dan penulis.

3. 1. Bahasa dan Realita
Fodor (1974) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem simbol dan tanda. Yang dimaksud dengan sistem simbol adalah hubungan simbol dengan makna yang bersifat konvensional. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem tanda adalah bahwa hubungan tanda dan makna bukan konvensional tetapi ditentukan oleh sifat atau ciri tertentu yang dimiliki benda atau situasi yang dimaksud. Dalam bahasa Indonesia kata cecak memiliki hubungan kausal dengan referennya atau binatangnya. Artinya, binatang itu disebut cecak karena suaranya kedengaran seperti cak-cak-cak. Oleh karena itu kata cecak disebut tanda bukan simbol. Lebih lanjut Fodor mengatakan bahwa problema bahasa adalah problema makna. Sebenarnya, tidak semua ahli bahasa membedakan antara simbol dan tanda. Richards (1985) menyebut kata table sebagai tanda meskipun tidak ada hubungan kausal antara objek (benda) yang dilambangkan kata itu dengan kata table.
Dari uraian di atas dapat ditangkap bahwa salah satu cara mengungkapkan makna adalah dengan bahasa, dan masih banyak cara yang lain yang dapat dipergunakan. Namun sejauh ini, apa makna dari makna, atau apa yang dimaksud dengan makna belum jelas. Bolinger (1981) menyatakan bahwa bahasa memiliki sistem fonem, yang terbentuk dari distinctive features bunyi, sistem morfem dan sintaksis. Untuk mengungkapkan makna bahasa harus berhubungan dengan dunia luar. Yang dimaksud dengan dunia luar adalah dunia di luar bahasa termasuk dunia dalam diri penutur bahasa. Dunia dalam pengertian seperti inilah disebut realita.
Penjelasan Bolinger (1981) tersebut menunjukkan bahwa makna adalah hubungan antara realita dan bahasa. Sementara realita mencakup segala sesuatu yang berada di luar bahasa. Realita itu mungkin terwujud dalam bentuk abstraksi bahasa, karena tidak ada bahasa tanpa makna. Sementara makna adalah hasil hubungan bahasa dan realita.

3.2. Bahasa dan Perilaku
Seperti yang telah diuraikan di atas, dalam bahasa selalu tersirat realita. Sementara perilaku selalu merujuk pada pelaku komunikasi. Komunikasi bisa terjadi jika proses decoding dan encoding berjalan dengan baik. Kedua proses ini dapat berjalan dengan baik jika baik encoder maupun decoder sama-sama memiliki pengetahuan dunia dan pengetahuan bahasa yang sama. (Omaggio, 1986).
Dengan memakai pengertian yang diberikan oleh Bolinger(1981) tentang realita, pengetahuan dunia dapat diartikan identik dengan pengetahuan realita. Bagaimana manusia memperoleh bahasa dapat dijelaskan dengan teori-teori pemerolehan bahasa. Sedangkan pemerolehan pengetahuan dunia (realita) atau proses penghubungan bahasa dan realita pada prinsipnya sama, yakni manusia memperoleh representasi mental realita melalui pengalaman yang langsung atau melalui pemberitahuan orang lain. Misalnya seseorang menyaksikan sebuah kecelakaan terjadi, orang tersebut akan memiliki representasi mental tentang kecelakaan tersebut dari orang yang langsung menyaksikannya juga akan membentuk representasi mental tentang kecelakaan tadi. Hanya saja terjadi perbedaan representasi mental pada kedua orang itu. 

4. Fungsi Bahasa
Menurut Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.
Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa’ bagi kepentingan yang lebih terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa secara terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar dengan bahasa nonstandar atau bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian kita. Padahal, bahasa bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Lihat saja, bagaimana pandainya orang-orang berpolitik melalui bahasa. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Agar dapat memanipulasi bahasa, kita harus mengetahui fungsi-fungsi bahasa.
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).
Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi.  Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang pula sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu (Sunaryo, 1993, 1995).
Menurut Sunaryo (2000 : 6), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) iptek tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam struktur budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berfikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).
Hasil pendayagunaan daya nalar itu sangat bergantung pada ragam bahasa yang digunakan. Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern. 


4.1 Bahasa sebagai Alat Ekspresi Diri
Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni ayah-ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk berkomunikasi. Seorang penulis mengekspresikan dirinya melalui tulisannya. Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun adalah sarana pengungkapan diri seorang ilmuwan untuk menunjukkan kemampuannya dalam sebuah bidang ilmu tertentu. Jadi, kita dapat menulis untuk mengekspresikan diri kita atau untuk mencapai tujuan tertentu.
Sebagai contoh lainnya, tulisan kita dalam sebuah buku,  merupakan hasil ekspresi diri kita. Pada saat kita menulis, kita tidak memikirkan siapa pembaca kita. Kita hanya menuangkan isi hati dan perasaan kita tanpa memikirkan apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak. Akan tetapi, pada saat kita menulis surat kepada orang lain, kita mulai berpikir kepada siapakah surat itu akan ditujukan. Kita memilih cara berbahasa yang berbeda kepada orang yang kita hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita kepada teman kita.
Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya, atau khalayak sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk kepentingannya pribadi. Fungsi ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi.
Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain :
-         agar menarik perhatian orang  lain terhadap kita,
-         keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi
Pada taraf  permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian berkembang  sebagai alat untuk menyatakan dirinya sendiri (Gorys Keraf, 1997 :4).

4.2 Bahasa sebagai Alat Komunikasi
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita.
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).
Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita.
Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kata griya, misalnya, lebih sulit dipahami dibandingkan kata rumah atau wisma. Dengan kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma, dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-kata griya atau makro akan memberi nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional.
Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri.

4.3 Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial
Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat  hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5).
Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati.
Pada saat kita mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana cara menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan menggunakan kata tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Bilamanakah kita dalam berbahasa Indonesia boleh menegur orang dengan kata Kamu atau Saudara atau Bapak atau Anda? Bagi orang asing, pilihan kata itu penting agar ia diterima di dalam lingkungan pergaulan orang Indonesia. Jangan sampai ia menggunakan kata kamu untuk menyapa seorang pejabat. Demikian pula jika kita mempelajari bahasa asing. Jangan sampai kita salah menggunakan tata cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa, kita dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut.

4.4 Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial
Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.
Ceramah agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik merupakan alat kontrol sosial. Kita juga sering mengikuti diskusi atau acara bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio. Iklan layanan masyarakat atau layanan sosial merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Di samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain mengenai suatu hal.
Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat persoalan secara lebih jelas dan tenang.

5. Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar
Bahasa  bukan sekedar alat komunikasi, bahasa itu bersistem. Oleh karena itu, berbahasa bukan sekedar berkomunikasi, berbahasa perlu menaati kaidah atau aturan bahasa yang berlaku.
Ungkapan “Gunakanlah Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.” Kita tentu sudah sering mendengar dan membaca ungkapan tersebut. Permasalahannya adalah pengertian apa yang terbentuk dalam benak kita ketika mendengar ungkapan tersebut? Apakah sebenarnya ungkapan itu? Apakah yang dijadikan alat ukur (kriteria) bahasa yang baik? Apa pula alat ukur bahasa yang benar?

5.1 Bahasa yang Baik
Penggunaan bahasa dengan baik menekankan aspek komunikatif bahasa. Hal itu berarti bahwa kita harus memperhatikan sasaran bahasa kita. Kita harus memperhatikan kepada siapa kita akan menyampaikan bahasa kita. Oleh sebab itu, unsur umur, pendidikan, agama, status sosial, lingkungan sosial, dan sudut pandang khalayak sasaran kita tidak boleh kita abaikan. Cara kita berbahasa kepada anak kecil dengan cara kita berbahasa kepada orang dewasa tentu berbeda. Penggunaan bahasa untuk lingkungan yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah tentu tidak dapat disamakan. Kita tidak dapat menyampaikan pengertian mengenai jembatan, misalnya, dengan bahasa yang sama kepada seorang anak SD dan kepada orang dewasa. Selain umur yang berbeda, daya serap seorang anak dengan orang dewasa tentu jauh berbeda.
Lebih lanjut lagi, karena berkaitan dengan aspek komunikasi, maka unsur-unsur komunikasi menjadi penting, yakni pengirim pesan, isi pesan, media penyampaian pesan, dan penerima pesan. Mengirim pesan adalah orang yang akan menyampaikan suatu gagasan kepada penerima pesan, yaitu pendengar atau pembacanya, bergantung pada media yang digunakannya. Jika pengirim pesan menggunakan telepon, media yang digunakan adalah media lisan. Jika ia menggunakan surat, media yang digunakan adalah media tulis. Isi pesan adalah gagasan yang ingin disampaikannya kepada penerima pesan.
Marilah kita gunakan contoh sebuah majalah atau buku. Pengirim pesan dapat berupa penulis artikel atau penulis cerita, baik komik, dongeng, atau narasi. Isi pesan adalah permasalahan atau cerita yang ingin disampaikan atau dijelaskan. Media pesan merupakan majalah, komik, atau buku cerita. Semua bentuk tertulis itu disampaikan kepada pembaca yang dituju. Cara artikel atau cerita itu disampaikan tentu disesuaikan dengan pembaca yang dituju. Berarti, dalam pembuatan tulisan itu akan diperhatikan jenis permasalahan, jenis cerita, dan kepada siapa tulisan atau cerita itu ditujukan.

5.2 Bahasa yang Benar
Bahasa yang benar berkaitan dengan aspek kaidah, yakni peraturan bahasa. Berkaitan dengan peraturan bahasa, ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu masalah tata bahasa, pilihan kata, tanda baca, dan ejaan. Pengetahuan atas tata bahasa dan pilihan kata, harus dimiliki dalam penggunaan bahasa lisan dan tulis. Pengetahuan atas tanda baca dan ejaan harus dimiliki dalam penggunaan bahasa tulis. Tanpa pengetahuan tata bahasa yang memadai, kita akan mengalami kesulitan dalam bermain dengan bahasa.
Kriteria yang digunakan untuk melihat penggunaan bahasa yang benar adalah kaidah bahasa. Kaidah ini meliputi aspek (1) tata bunyi (fonologi), (2)tata bahasa (kata dan kalimat), (3) kosa kata (termasuk istilah), (4), ejaan, dan (5) makna. Pada aspek tata bunyi, misalnya kita telah menerima bunyi f, v dan z. Oleh karena itu, kata-kata yang benar adalah fajar, motif, aktif, variabel, vitamin, devaluasi, zakat, izin, bukan pajar, motip, aktip, pariabel, pitamin, depaluasi, jakat, ijin. Masalah lafal juga termasuk aspek tata bumi. Pelafalan yang benar adalah kompleks, transmigrasi, ekspor, bukan komplek, tranmigrasi, ekspot.
Pada aspek tata bahasa, mengenai bentuk kata misalnya, bentuk yang benar adalah ubah, mencari, terdesak, mengebut, tegakkan, dan pertanggungjawaban, bukan obah, robah, rubah, nyari, kedesak, ngebut, tegakan dan pertanggung jawaban. Dari segi kalimat pernyataan di bawah ini tidak benar karena tidak mengandung subjek. Kalimat mandiri harus mempunyai subjek, predikat atau dan objek.
(1) Pada tabel di atas memperlihatkan bahwa jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah pria.
Jika kata pada yang mengawali pernyataan itu ditiadakan, unsur tabel di atas menjadi subjek. Dengan demikian, kalimat itu benar. Pada aspek kosa kata, kata-kata seperti bilang, kasih, entar dan udah lebih baik diganti dengan berkata/mengatakan, memberi, sebentar, dan sudah dalam penggunaan bahasa yang benar. Dalam hubungannya dengan peristilahan, istilah dampak (impact), bandar udara, keluaran (output), dan pajak tanah (land tax) dipilih sebagai istilah yang benar daripada istilah pengaruh, pelabuhan udara, hasil, dan pajak bumi. Dari segi ejaan, penulisan yang benar adalah analisis, sistem, objek, jadwal, kualitas, dan hierarki. Dari segi maknanya, penggunaan bahasa yang benar bertalian dengan ketepatan menggunakan kata yang sesuai dengan tuntutan makna. Misalnya dalam bahasa ilmu tidak tepat jika digunakan kata yang sifatnya konotatif (kiasan). Jadi penggunaan bahasa yang benar adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa.
Kriteria penggunaan bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi. Pemilihan ini bertalian dengan topik yang dibicarakan, tujuan pembicaraan, orang yang diajak berbicara (kalau lisan) atau pembaca (jika tulis), dan tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik itu bernalar, dalam arti bahwa bahasa yang kita gunakan logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat kita. Penggunaan bahasa yang benar tergambar dalam penggunaan kalimat-kalimat yang gramatikal, yaitu kalimat-kalimat yang memenuhi kaidah tata bunyi (fonologi), tata bahasa, kosa kata, istilah, dan ejaan. Penggunaan bahasa yang baik terlihat dari penggunaan kalimat-kalimat yang efektif, yaitu kalimat-kalimat yang dapat menyampaikan pesan/informasi secara tepat (Dendy Sugondo, 1999 : 21)..
Berbahasa dengan baik dan benar tidak hanya menekankan kebenaran dalam hal tata bahasa, melainkan juga memperhatikan aspek komunikatif. Bahasa yang komunikatif tidak selalu hanus merupakan bahasa standar. Sebaliknya, penggunaan bahasa standar tidak selalu berarti bahwa bahasa itu baik dan benar. Sebaiknya, kita menggunakan ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan disamping itu mengikuti kaidah bahasa yang benar (Alwi dkk., 1998: 21)